KOMIK DAN CERITA BERGAMBAR

PANDEMI MEMBUAT DEG-DEGAN

INI ADALAH SEKELUMIT KISAH PADA SAAT AWAL PANDEMI COVID19 YANG MENDEBARKAN....(kisah nyata yang sedikit disamarkan)..



“Bapakmu mungkin ga bisa pulang, Nduk,” kata Bu Ida setelah menerima telpon suaminya.

Bu Ida dan Riska anaknya saling terdiam. Dalam benak mereka memikirkan berbagai kemungkinan terjadi.

Tiga minggu yang lalu, Pak Safri suami Bu Ida berangkat ke Jakarta. Ia bersama rombongan tukang diajak Pakdhe Nurman akan merenovasi rumah anaknya. Bagi Pak Safri dan teman-temannya kesempatan ini adalah berkah. Apalagi menjelang bulan Ramadhan, mereka berharap setelah proyek ini selesai akan membawa banyak rezeki untuk lebaran.

Sejak menginjakkan kaki di Jakarta, semua kelihatan berjalan normal. Mereka tidak menyadari bersamaan itu juga, virus Corona telah menjangkiti beberapa penduduk di Ibu Kota. 


 

Pemberitaan melalui media sosial, televisi ramai membicarakan virus Corona. Informasi ini awalnya hanya diketahui oleh ahli epidemiologi, dokter, dan Gubernur DKI Jakarta yang telah berdiskusi jauh hari mengantisipasi kemungkinan bila virus Corona menyebar dari Wuhan China ke Indonesia.

Pemerintah akhirnya mengakui, Indonesia telah terkena wabah ini setelah dua warga Depok Bogor terinfeksi Virus Corona setelah pulang dari luar negeri. Tidak lama setelah itu, di berbagai kota di luar Ibu Kota pun melaporkan warganya juga telah terinfeksi virus Corona ini. Bahkan di Kota dekat Bu Ida tinggal, orang yang terinfeksi akhirnya meninggal dunia.

Kepanikan terjadi. Orang-orang khawatir akan tertular wabah ini. Di desa-desa, kampung-kampung bahkan telah menutup jalan-jalan desa agar orang dari luar tidak boleh masuk. Rumah-rumah disemprot cairan desinfektan, masjid-masjid dibersihkan dan dianjurkan agar sholat di rumah saja. Bu Ida menjadi gelisah akan keadaan suaminya.


 

“ Pak, katanya Jakarta zona merah. Bapak gimana di sana?” Bu Ida menanyakan dengan cemas.

“ Ga papa bu. Kampung di sini juga ditutup tapi pekerjaan renovasi masih jalan terus,” jawab Pak Safri.

“ Bapak jangan kemana-mana, nanti tertular,” kata bu Ida.

“ Yo.. ga kemana-mana. Lha wong seharian kerja habis itu ya tidur dan makan di rumah itu lagi. Tenang saja, bapak baik-baik saja,” jelas Pak Safri.


 

Jakarta menjadi daerah pusat wabah dengan jumlah penularan tertinggi di Indonesia. Sementara itu di kantor Gubernur DKI Jakarta telah menetapkan langkah untuk menutup total Ibu kota selama 14 hari untuk memutus rantai penularan virus Corona. Ini artinya Jakarta akan dikarantina. Orang dari luar tidak boleh masuk ke daerah wabah. Demikian juga orang yang tinggal di daerah wabah tidak boleh keluar daerah tersebut.

Karantina wilayah  akan diteruskan jika penularan masih terus terjadi. Pemerintah DKI melarang lalu lintas pergerakan tranportasi ke luar Jakarta. Mudik Lebaran yang sudah menjadi tradisi menjelang akhir Ramadhan dilarang. Kegelisahan ini pun dialami Pak Safri dan teman-temannya. Apalagi setelah Pakdhe Nurman mengajak bicara.

“ Bagimana Fri, situasi Jakarta seperti ini. Pekerjaan ini mungkin ga seperti rencana awal dulu,” kata Pakdhe Nurman.

“ Maksud Pakdhe?” Pak Safri penasaran walaupun ia menyiapkan kemungkinan terburuknya.

“Ya.. sebelum lebaran mungkin berhenti,” jelas Pakdhe Nurman.

“ Ya.. aku sih pinginnya tetap lanjut, sambil nunggu keadaan setelah karantina selesai. Bisa terus apa berhenti, “ jelas Pakdhe Nurman.

“Ya kamu tenang saja. Nanti tak kabari lagi,” lanjut Pakdhe Nurman. Pak Safri mengangguk pelan. Situasi ini mulai mencemaskan Pak Safri, tapi ia tidak ingin cepat-cepat memberitahu istrinya. Jika karantina di Jakarta selesai dan ada kepastian tentang pekerjaan ia akan mengabari lagi.


 

Seminggu lebih sudah memasuki bulan puasa, Pak Safri dan teman-temannya berkerja seperti biasa. Namun virus Corona ini terus menyebar di berbagai wilayah, sesuai pergerakan manusia yang berpindah dari daerah yang terjangkiti virus Corona ke daerah yang lain.  Hari ke hari terjadi orang-orang yang tertular oleh virus ini semakin bertambah.

“ Bapak, katanya lebaran ini ga boleh mudik. Bapak bisa pulang ga?,” tanya Bu Ida di telepon.

“ Yoo... kalau pekerjaan selesai ya pulang,” jawab Pak Safri

“ Kalau ga boleh, trus gimana Pak?” Bu Ida cemas. “ Kalau ga bisa mudik, yang penting uangnya ditrasfer ya pak, buat bayar uang sekolah Riska.”

“Lah.. belajar dirumah kok masih bayar sekolah bu?” tanya Pak Safri bercanda.

“Semua sekolah ya begitu pak. Ga dibayar nanti ga dapat ijazah,” jawab Bu Ida.

“ Ha.. ha... Ya sudah... Ga usah khawatir. Nanti tak transfer, jaga kesehatan semua,” kata Pak Safri.

“ Bapak juga,” jawab Bu Ida sambil menutup telepon dan memandang Riska yang dari tadi disampingnya. Bu Ida merasa kali ini suaminya akan tertahan cukup lama di Jakarta. Menunggu situasi aman untuk pulang. Tak ada yang memastikan virus Corona ini kapan akan berakhir.

Di kampung Bu Ida, jalan-jalan di tutup barikade. Tidak ada lagi arisan, rewangan hajatan, pengajian, sholat tarawih di bulan Ramadhan pun dikerjakan di rumah. 

Situasi jadi genting setelah warga menangkap residivis napi yang dibebaskan dari penjara. Ia berusaha mencuri di salah satu rumah. Warga bergantian siskamling setiap malam. Wabah Corona ini mencemaskan semua orang.  Bu Ida merasa sedih, jika di kampungnya saja penjagaan sudah ketat begini, bagaimana situasi Jakarta  sebagai zona merah penyebaran virus Corona.

Ia cemas jika suaminya benar-benar tidak bisa pulang.

Sementara itu, Pak Safri dan teman-teman memutuskan untuk mudik karena pekerjaan dihentikan. Mereka tahu mudik kali ini tidak akan mudah. Tapi tertahan hidup di Jakarta hanya akan menghabiskan uang. Mereka tidak mau pulang tanpa membawa apa-apa. Mereka bertekad akan mudik bagaimanapun terjadi.

“Begini mas, bus ke Solo sudah ga boleh ke luar Jakarta. Suruh balik sama polisi,” kata Anung.

“ lha trus gimana, Nung?” Tanya Pak Safri bersama tiga teman lainnya.

“ Nyewa travel saja mas, aku punya kenalan supir. Mudah-mudahan ia bisa ngusahain,” jawab Anung.

“Yo wis,” kata Pak Safri.

“Assalamu’alaikum.... dengan mas Lilik ?,” Anung menelepon.

“Ya... Ada perlu apa mas Anung?” jawab Lilik

“Minta tolong mas... Jenengan bisa nganter ke Solo? Minta tolong mas,” tanya Anung.

“ Wah... Susah mas. Keadaan begini, dimana-mana disetop Polisi je,” jawab Lilik.

“ Waduh... Minta tolong  mas. Soal ongkosnya berapa kita ikut saja,”kata Anung.

“ Yah... Nanti saya kabari lagi,” jawab Lilik.

 

Satu hari kemudian. Nada dering di handphone Anung.

“ Wa’alaikum salam mas Lilik. Bagaimana kabarnya, mas?” jawab Anung

“ Alhamdulillah, baik mas. InsyaAllah hari ini saya bisa antar,” kata Lilik.

“Ooh ya...  Saya beritahu teman-teman untuk siap-siap. Trimakasih, Mas,” kata Anung.

“ Sama-sama,” jawab Lilik.

Sesuai rencana mereka meninggalkan Jakarta. Menelusuri jalan yang biasa dilalui, rencana mereka akan melewati jalan tol.

“Selamat malam Pak.. Boleh lihat surat-suratnya?,” tanya Petugas.

“ Selamat malam.” Jawab Lilik sambil menyerahkan SIM, STNK.

“Mau kemana, Pak?” tanya Petugas sambil memotret plat nomor kendaraan.

“Pulang Pak,” jawab Lilik.

“ Bapak sudah tahu, untuk mencegah penyebaran virus Corona, pemerintah DKI melarang mudik. Tolong bapak putar balik, “ kata Petugas.

Mereka menggerutu pasrah...


 

Usaha kali ini gagal, namun mereka berencana akan mencoba lagi.

Keesokan harinya.

“Mobilnya ganti mas?” Tanya Anung saat memasukkan barang-barang bersama Pak Safri dan teman-temannya.

“ Ya Mas, mobil kemarin plat nomernya sudah difoto sama Polisi. Coba mobil lain siapa tahu lolos,” jelas Lilik.

“ Mudah-mudahan, Aamiin.” Jawab mereka semua.

Beberapa jam mereka berputar-putar menelusuri jalan-jalan tikus untuk keluar kota Jakarta. Beberapa kali menghindari petugas di pos-pos penjagaan Covid-19. Setelah melewati pinggir kota ... mereka terhadang Polisi. Mereka pun harus putar balik ke Jakarta. Usaha ketiga kalinya juga gagal, terhadang oleh polisi saat melalui pos penjagaan Covid-19.

 

Hari berikutnya ketika mereka sedang beristirahat di rumah Pakdhe Nurman.

“ Bagaimana Nung, ada kabar dari Lilik? Mau berangkat lagi kapan?” tanya pakdhe Nurman.

“ Belum ada kabar Pakdhe. Mau cari mobil lain katanya,” jawab Anung.

“ Makin sulit Pakdhe,” kata Pak Safri“ Duitnya juga sudah makin nipis.” Lanjutnya.

“Situasi wabah seperti ini memang penuh resiko,” kata Pakdhe Nurman.

“ Sebenarnya kita tidak mau melanggar peraturan. Saya juga takut membawa penyakit ke rumah nanti,” kata Pak Safri.

“ Mau bertahan di sini... tapi tidak ada kerjaan juga tidak tenang. Kepikiran yang di rumah terus. Takut kalau ada apa-apa sama mereka,” jelas Anung.

“Mungkin ini peringatan dari Allah, usaha yang kita lakukan ini salah,” kata Pak Safri.

“Benar apa salah tindakan kita, tahunya juga nanti. Yang salah itu kalau tidak mencoba sama sekali,” kata Pakdhe Nurman.

“ Yah.. kita berdoa sama Allah. Semoga di beri jalan terbaik.” Lanjutnya.

“ Trimakasih Pakdhe,” kata Anung. Dua hari itu mereka belum juga dapat kabar dari mas Lilik. Harapan pun menipis. Mereka pasrah jika memang Allah menakdirkan mereka tidak bisa pulang.

Malam hari itu mereka tidur dengan pulas, menghilangkan kepenatan yang dialami beberapa hari kemarin. Tiba-tiba.. dari handphone Anung terdengar dering telepon mas Lilik.

 

“ Assalamu’alaikum mas. Siap-siap mas.. berangkat malam ini. Saya langsung ke tempat jenengan,” kata Lilik.

“ i.. i.. iya Mas,” jawab Anung.

 

Malam itu mereka meninggalkan Ibu Kota Jakarta. 

Memilih jalan yang tidak biasa. Jalan-jalan tikus untuk menghindari pos-pos penjagaan petugas. Perjalanan yang cukup menegangkan setiap kali melewati pos polisi. Namun di malam buta seperti itu, para petugas pun tidur, istirahat setelah seharian mereka bertugas selama seharian penuh dalam keadaan puasa. Setelah sembilan jam mereka menempuh perjalanan. 

Dan akhirnya di pagi itu.. Pak Safri tiba di depan pintu rumah dengan penuh rasa bahagia.

Bu Ida dan Riska pun demikian..

Tapi mereka hanya mengintip dari jendela..takut kemungkinan tertular wabah...

Empat belas hari berikutnya, Pak Safri diisolasi di kamar tersendiri. Menjaga jarak dengan semua anggota keluarga. Makan dan minum disediakan tersendiri. Pakaian dicuci sendiri.  Pak RT dan warga memberi bantuan sebagai rasa solidaritas sesama warga. Ada yang membawa beras, sembako, sayur mayur dari kebun yang mereka punya.

 

Satu bulan  umat Islam menjalankan ibadah puasa di tengah wabah Corona. Gema takbir Allahu Akbar... Allahu Akbar... menembus langit. Memuji kebesaran Allah SWT. Di sudut kamar isolasi, ada suasana haru. Pak Safri terpaku... Gema takbir  kali ini terasa berbeda. Ia tak bisa membayangkan jika di malam takbir ini ia masih di tengah Ibu Kota.. Pusat daerah wabah Corona terjadi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERBUAN PASUKAN GAJAH

Tanda-tanda Kenabian Muhammad SAW

PATI UNUS : Pejuang Pembebas Malaka