KOMIK DAN CERITA BERGAMBAR

Kisah Rasulullah Muhammad saw Bersama Ibu Halimah binti Dzu’aib

 

Semenjak kelahiran bayi Rasulullah Muhammad saw, kebahagiaan dirasakan seluruh keluarga besar Kakek Abdul Muthalib. Lebih-lebih Aminah binti Wahab, ibunda yang melahirkan beliau. Namun begitu, keputusan Kakek Abdul Muthalib untuk mencarikan ibu susuan dari keluarga Bani Sa’d diterima Ibunda Aminah dengan hati ikhlas. 

Salah satu hikmahnya adalah menjauhkan bayi Muhammad saw dari suatu penyakit yang biasa menjalar di daerah yang sudah maju seperti Makkah. Dan juga agar keluarga yang menyusui beliau bisa melatih bahasa Arab dengan fasih.

 

Bertemunya bayi Muhammad saw dengan ibu susuan Halimah binti Abu Dzu’aib, sebagai kisah yang menunjukkan kebesaran Allah Yang Maha Memelihara.

 

Suatu hari, bergerak rombongan Bani Sa’d dari negerinya menuju suatu daerah. Tujuannya mencari bayi-bayi yang bisa disusui. Diantara rombongan itu adalah Halimah binti Dzu’aib, suami dan anak bayinya sendiri dalam gendongannya.

Halimah bercerita, “ Itu terjadi pada masa paceklik, tak banyak kekayaan kami yang tersisa. Aku pergi sambil naik keledai betina berwarna putih milik kami, dan seekor onta yang sudah tua dan tidak bisa diambil susunya lagi walau setetes. Sepanjang malam kami tidak pernah tidur karena harus meninabobokkan bayi kami yang terus-menerus menangis karena kelaparan. Air susuku juga tidak bisa diharapkan. Aku pun pergi sambil menunggang keledai betina milik kami dan hampir tak pernah turun dari punggungnya, sehingga keledai itu pun semakin lemah kondisinya.

Akhirnya, kami serombongan tiba di Makkah dan kami langsung mencari bayi yang bisa kami susui. Setiap wanita dari rombongan kami yang ditawari bayi Rasulullah saw pasti menolaknya, setelah tahu bahwa beliau adalah anak yatim. 

Tidak mengherankan, sebab memang kami mengharapkan imbalan yang memadai dari bapak bayi yang hendak kami susui. Kami semua berkata “ Dia anak Yatim”. Tidak ada pilihan bagi ibunda Aminah dan kakek beliau, karena kami tidak menyukai keadaan seperti itu.

Setiap wanita dari rombongan kami sudah mendapatkan bayi yang disusuinya, kecuali aku sendiri. Tatkala kami sudah siap untuk kembali, aku berkata pada suamiku, “Demi Allah, aku tak ingin kembali tanpa membawa seorang bayi yang disusui. Aku sungguh akan mendatangi anak yatim itu dan membawanya.”

“Memang ada baiknya jika kau melakukan hal itu. Semoga Allah mendatangkan barakah bagi kita pada diri anak itu”, kata suamiku.

Maka aku pun menemui bayi itu (beliau Muhammad saw). Tatkala menggendongnya, seakan-akan ringan tanpa merasa beban. Aku segera kembali menaiki tungganganku, tatkala kususui, bayi itu bisa menyusu dengan lancar hingga membuat ia kenyang. Anak kandungku pun menyusu hingga kenyang, setelah itu kedua bayi itu tertidur dengan pulas. Padahal sebelumnya kami hampir tidak pernah bisa tidur karena mengurus bayi kami yang terus menangis karena air susuku tidak lancar. Ketika suamiku menghampiri ontanya yang sudah tua,  ternyata air susunya menjadi penuh, maka kami memerahnya. Aku dan suamiku bisa minum susu dengan kenyang. Malam itu adalah malam yang paling indah bagi kami.

Keesokan harinya suamiku berkata,” Demi Allah, tahukah kau istriku, engkau telah mengambil satu jiwa yang penuh barakah.”

“Demi Allah, aku pun berharap demikian,” kataku.

Kemudian kami siap-siap perjalanan kembali menuju negeri kami dengan menunggang keledaiku. Bersama semua barang bawaan kami yang kunaikkan ke atas punggungnya. Setelah menempuh perjalanan yang jauh, terlihat keledai-keledai itu dalam keadaan kelelahan. 

Tetapi tidak dengan keledaiku. Seakan berjalan dengan beban yang ringan. Sehingga rekan-rekanku berkata kepadaku,” Wahai putri Abu Dzu’aib! Tunggulah kami! Bukankah ini keledaimu yang pernah engkau bawa bersama kita dulu?”

“Demi Allah, begitulah. Ini keledaiku yang dulu,” kataku.

“Demi Allah, keledaimu itu kini bertambah perkasa,” kata mereka.

 

Kami pun tiba di tempat tinggal kami. Aku tidak pernah melihat daerah yang subur saat itu. Domba-domba kami datang menyongsong kedatangan kami dalam keadaan kenyang dan air susunya juga penuh berisi. Kami bisa memerahnya dan meminumnya. 

Tapi tidak pada hewan gembala orang-orang lainnya. Mereka tidak bisa memerah air susu walau sedikit. Sehingga mereka berkata kepada penggembalanya dengan agak marah, ”Lepaskan hewan gembalaan kalian seperti  yang dilakukan gembalanya putri Dzu ‘aib!”. 

Tetap saja domba-domba mereka pulang dalam keadaan lapar dan tidak mendapatkan air susu.

Kami senantiasa mendapatkan tambahan berkah dan kebaikan dari Allah selama dua tahun menyusui bayi Muhammad saw. Lalu kami menyapihnya. Dia tumbuh dengan baik, tidak seperti bayi-bayi yang lain. Bahkan sebelum usia dua tahun pun dia sudah tumbuh pesat. Kemudian kami membawa kepada ibunya, meskipun kami masih berharap tetap bersamanya karena keberkahannya. Maka kami menyampaikan niat ini kepada ibunda Aminah. Aku berkata kepadanya,” Andai engkau boleh membiarkan anak ini tetap  bersama kami hingga menjadi besar. Sebab aku khawatir dia terserang penyakit yang bisa menjalar di Makkah.” Kami terus merayu ibunya hingga dia berkenan mengembalikan anak itu tinggal bersama kami.

Begitulah Rasulullah saw tinggal  di tengah Bani Sa’d hingga berumur empat atau lima tahun hingga peristiwa pembelahan dada beliau oleh malaikat Jibril.  Hal yang membuat Halimah khawatir dan mengembalikan beliau kepada ibunda Aminah binti Wahab.

 

( dikisahkan Halimah dari Ibnu Ishaq.-Sirah Nabawiyah ; Syaikh Shafiyyurrahman Al Mubarakfuri)  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERBUAN PASUKAN GAJAH

Tanda-tanda Kenabian Muhammad SAW

PATI UNUS : Pejuang Pembebas Malaka