KOMIK DAN CERITA BERGAMBAR

PANDEMI MENYADARKAN KASIH SAYANG

 

Anak Main Lompat Tali


Setiap adzan Shubuh, Rara mengawali harinya. Setelah sholat subuh, ia bergegas membangunkan Dilla. Adiknya yang baru kelas dua Sekolah Dasar. Dilla memang susah bangun pagi.

“Bangun dek! Ayo cepat, nanti terlambat lho!”seru Rara.

Rara bergegas untuk mandi. Setelah itu dilihat adiknya masih tidur. “ Eeeh..Ayo bangun, sholat dulu trus mandi!” seru Rara dengan nada tinggi. Dilla akhirnya bangun dengan langkah gontai.

Rara langsung membereskan tempat tidur adiknya kemudian menuju dapur menyiapkan bekal minum untuk dia dan adiknya. Minum susu sereal adalah sarapan praktis hampir setiap pagi mereka.

Ia tak keberatan melakukan semua itu. Hal itu biasa dilakukan jika ibu dapat jadwal shift malam dan pagi baru tiba di rumah untuk tidur istirahat. Untunglah ada ayah yang membantu kesibukan di pagi hari sebelum ayah berangkat kerja.

Rara dilatih mandiri sejak kecil. Mobil antar jemput akan membawa dia dan adiknya menuju dan kembali dari sekolah.

“Dilla, mana tempat minummu?” tanya Rara.

“Ini.. kak,” kata Dilla.

“Jaga ya..! Habis makan snack dan makan siang cek lagi, jangan ketinggalan,” Rara mengingatkan.

“Iya.. kak,” sahut Dilla.

Sekolah bagi mereka adalah rumah kedua. Mereka menghabiskan waktu belajar, ibadah dan bermain dengan teman-teman dari pagi hingga sore sampai sholat ashar. Pukul empat sore, Rara dan adiknya tiba di rumah.

**

Semua itu kini berubah sejak ada wabah pandemi Covid-19...

Rara tentu senang karena sekarang  banyak waktu bersama ayah dan ibu. Ayah bekerja dari rumah. Saat jam kantor ia akan menatap laptop untuk menerima tugas dari kantor. Dan sering berbicara melalui aplikasi IT rapat bersama bosnya. Sholat Shubuh hingga sholat fardu lainnya sering berjamaah bersama ayah.

Kini setiap pagi Rara menemani ibu membantu memasak di dapur. Makan bersama jadi menyenangkan. Tak ada lagi Rara memaksa adiknya untuk makan nasi goreng atau mie buatannya. Masakan yang dibuat ibu akan dilahap habis karena masakannya selalu enak.

“Bagaimana bu...?” tanya Ibu di telepon.

“ Susah bu ... Banyak yang dirumahkan. Entah sampai kapan,” jawab bu Santi bagian personalia.

“Begitu ya...!” kata ibu.

“ Emm... begini. Kalau nanti pabrik butuh karyawan. Pasti jenengan saya hubungi,” jelas bu Santi.

“Trimakasih atas perhatiannya,” kata ibu sambil menutup telepon. Ibu menghela nafas, lalu tersenyum ketika menengok  samping. Rupanya Rara dari tadi berdiri di dekatnya. Rara balas tersenyum, tapi ia merasakan ada sorot mata kecewa di mata ibu.

Ibu membuka lagi ponselnya, melihat perpesanan di grup WA kelas Dilla.

“Adikmu mana? Ada tugas dari Bu Winda,” kata Ibu. Rara bergegas mencari Dilla yang sedang bermain lompat tali di halaman.

“Ada apa, bu?,” tanya Dilla.

“Belajar dulu sayang. Ada tugas Bahasa Indonesia. Cepat ambil bukumu!” perintah Ibu.

Dilla masih memainkan lompat tali sambil menuju kamar.

“Sini, kakak bantu cari bukunya.” Rara sigap membantu adiknya.

“ Ini bu bukunya..,” kata Dilla menyerahkan buku, dengan tangan satunya masih sibuk memainkan tali lompatnya.

“ Letakkan dulu!,” Ibu mengambil tali yang dipegang Dilla.

“ Kalau tugasmu selesai boleh main lagi,” jelas Ibu pada Dilla. Wajah Dilla mulai cemberut.

“ Nih... tugasmu membaca puisi hal 18, nanti vidio baca puisi kamu dikirim ke bu Winda!” Ibu menjelaskan.

“ Yuk nak, latihan dulu,” kata ibu memperlihatkan halaman yang harus dibaca Dilla.

Dilla melihat buku itu. Sejurus kemudian membalik badan sambil memainkan benda apa saja disampingnya.

“Ayo... baca dulu..!” kata ibu lagi.

“ Peee.. elll.. aa..  ehmm... sulit!” kata Dilla.

“Dilla belum lancar baca rupanya. Bagaimana bisa naik kelas?” gumam ibu dalam hati. Lalu ia teringat telepon Wali kelas satu dulu. Ia kewalahan mengajari karena Dilla hiperaktif. Jadi ia belum tuntas belajar membaca.

Dilla main lompat-lompat tali kembali tanpa menghiraukan tugasnya.

“Dilla.. Dilla.. Mainnya nanti!” Seru ibu menghentikan Dilla.

“Dengar ibu! Kamu harus belajar baca. Ini penting!”  “Biar kamu bisa menyelesaikan tugas-tugasmu yang lain.” Kata Ibu memberi ketegasan.

Dilla menangis. Hari itu Dilla gagal mengirim tugas vidio baca puisi. Dan hari itu Dilla tidak dibolehkan main game sebagai hukumannya.

Keesokan harinya..

Ibu menyiapkan buku, gambar-gambar alat bantu untuk Dilla berlatih membaca.

“ Aaa.. Bee...Cee.. Dee....,” Dilla mulai dari awal membaca abjad.

“A.. B.. C.. D.. E.. F.. G.., ibu memberi contoh dengan lagu.

“ Aku tau lagu itu,” sahut Dilla sambil menyanyikan huruf A sampai Z.

“ Pintar,” ibu memuji. Dilla bersemangat bernyanyi sambil menunjuk huruf- huruf di buku.

“Nah.. coba baca ini!” ibu menunjuk gambar gajah.

“ Gajah..,” Dilla menjawab cepat.

“ Coba sebut huruf-hurufnya satu-satu,”

Ge.. Aa.. Ini huruf apa bu? “ Dilla mencoba mengeja.

“ Ayo ingat lagi.. huruf apa itu?” ibu membimbing.

“Ka..!” kata Dilla

“Salah..! Je.. ,” kata ibu memberi semangat.

“Ge..Aa..Je..Aa.. Ha..,” kata Dilla.

“ Bagus,”kata Ibu.

“Coba dipisah suku katanya. Ga - Jah.  Dua huruf depan dibaca Ga.. selanjutnya ada tiga huruf, Ja.. akhiran H. Dibaca Jah... Jadi dibaca Ga-jah,”jelas Ibu.

“Ga.. Jah..,” kata Dilla.

“Bagus! coba baca gambar lainnya,” jelas ibu.
Mulai hari itu Dilla berlatih terus membaca. Dilla bersemangat dan tidak menangis lagi.  Dilla bebas bermain jika tugas sekolahnya selesai. Dilla senang belajar dan bermain bersama ibu di rumah.

Sampai beberapa hari berikutnya.

**

“ Eh.. kamu mau bikin apa buat tugas kepedulian masyarakat,” kata Rara lewat vidio call.

“ Kata mamaku mau buat puding coklat,” jawab Lidya “ kalau kamu?” tanya Lidya.

“ Emm.. nasi kuning atau apa lah, belum pasti.” Jawab Rara. “ Eh.. nanti pas bagi-bagi kita bareng aja, yuk!” ajak Rara.

“ OK..,” jawab Lidya.

Rara kemudian melihat Youtube menyimak pembuatan nasi kuning. Ia menyiapkan bahan-bahan di dapur.

“ Sibuk amat anak ibu ini, mau bikin apa sih?” tanya Ibu memperhatikan Rara mondar-mandir mengikuti petunjuk di Youtube. Rara anaknya kini sudah besar. Ia sangat mandiri dan bertanggungjawab. Rara selalu meringankan bebannya. Ia baru minta tolong jika terpaksa.

Tiba-tiba ibu merangkul Rara. Matanya agak berkaca-kaca.

“ Gadis  cantikku.. anak baik, pintar.. ,” bisik ibu

“Bagi ibu, kamu tetap anak kecil kesayangan ibu. Maafkan ibu.. selama ini kurang ada waktu buat kamu.”

“Ibu kenapa? Jangan sedih bu.. Rara ngerti ibu bekerja mencari uang buat keluarga,” kata Rara yang kemudian dipeluk ibu lebih erat.

“ Kamu kesulitan apa nak, ibu bantu ya..?” tanya ibu.

“ Boleh bu..,” kata Rara.  Lantas siang itu mereka berdua sibuk membuat nasi kuning. Sampai menjelang waktu Ashar tiba...

“ Alhamdulillah..  semua 20 kotak, bu,” kata Rara dengan gembira.

“ Habis sholat Ashar dibagikan ya? Buat siapa saja?” tanya Ibu.

“ Buat petugas posko Covid-19, bapak-bapak tukang parkir, sama yang membutuhkan,” jelas Rara.

“Tapi nanti bagi-bagi bareng Lidya,” lanjut Rara.

“Hati-hati ya.., pakai masker lho?” kata Ibu.

Menjelang Maghrib Rara kembali.

“ Ibu.. tadi aku foto nasi kuning itu sebelum dibagi. Aku sebarkan di teman-temanku. Ada yang pesen lho.. ibunya Lidya, ibunya Fery, dan Bu RT,” kata Rara senang.

“Oh ya..? baiklah nanti ibu buatkan,” kata ibu.

**

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, hampir satu tahun mereka hidup ditengah wabah Covid-19. Ada yang berubah dari aktivitas sehari-hari. Banyak hal telah terjadi. Sedih kehilangan keluarga, kerabat, teman. Kehilangan pekerjaan dan berbagai kesulitan hidup. Walau begitu wabah juga memberi berkah agar lebih dekat dengan keluarga, saling peduli, saling tolong menolong.

Waktu santai sore hari. Ayah sedang membaca berita di medsos. Ibu disampingnya dengan kopi hangat dan snack buatan sendiri.

“ Ayah.. bagaimana kalau ibu bekerja di rumah saja,” kata Ibu. Ayah lantas meletakkan ponselnya dan memperhatikan ibu.

“ Maksud ibu?” Ayah menunggu penjelasan ibu.

“Ibu tidak kerja di pabrik lagi.” Kata Ibu “ Aku coba kerja yang banyak waktu buat keluarga, bisa dikerjakan di rumah,” jelas ibu.

“ Oh.. begitu. Apapun keputusan ibu ayah setuju saja, yang penting ibu senang melakukannya.” kata Ayah “ Lagi pula mencari nafkah kan kewajiban ayah,” lanjutnya disambut anggukan dan senyuman ibu. 

Plonga-plongo

Di jendela wastafel tempat cuci piring, ibu melihat Rara dan Dilla sedang asyik bermain di halaman.

“Trimakasih Tuhanku, wabah ini menyadari kekuranganku. Ku anggap benar rutinitas dahulu karena semua pun begitu. Mudahnya kutitipkan anak-anakku pada sekolah, yang ku anggap itu cukup. Satu tahun ini waktu cukup lama bagiku menerima untuk merubah pandanganku. Perubahan terkadang menyakitkan, tapi inilah hidup dimana perubahan pasti terjadi.  Trimakasih Ya Allah memberkahiku untuk terlahir kembali,” dengan mata ibu yang berkaca-kaca.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SERBUAN PASUKAN GAJAH

Tanda-tanda Kenabian Muhammad SAW

PATI UNUS : Pejuang Pembebas Malaka